Sindhunata itu saya ngertinya sering nulis opini di Kompas, secara sejak 2009 saya langganannya Kompas. Sejarah berlangganan ini, lain waktu saja saya ceritakan. Ternyata, Sindhunata itu wong mBatu asli. Tinggalnya di kampung sebelah. Beliau ikut dalam proses perubahan status Batu dari kecamatan menuju kota. Dalam kesempatan informal, beliau sedikit banyak menyesalkan perubahan kota Batu yang jadi kota wisata seperti saat ini. Memang tadinya di set untuk kota wisata, tapi doeloenya para pendiri ingin wisata yang dijalankan itu ke pertanian dan alam.
Kalau Bandung Mawardi, adalah penggerak literasi di Solo. Dengan Bilik Literasi-nya, dia aktif mengajar menulis di berbagai forum, dan mengawalnya hingga terbit.
Kami tiba di Among Tani sekitar jam 9 pagi. Niatnya mau ngintip acara anak-anak. Ternyata kedua putri saya tertarik, jadi mereka mendaftar dan ikut kelas.
Kelas Menulis Anak di Perpustakaan kota Batu lantai 3 |
Kami mau lanjut ngantar barang, ternyata oleh panitia diarahkan untuk obrolan bersama Bandung. Kelas anak ditangani oleh rekan-rekannya. Jadilah kami pamit sebentar ngantar barang, lalu kembali untuk ikut kelas ... Sebut saja parenting.
Forum Orang Tua di Perpustakaan Kota Batu lantai 2 |
Di kelas parenting ini, Bandung berupaya mengingatkan orang tua. Bahwasanya kita banyak mengeluhkan anak, seharusnya kita ngaca dulu tentang apa yang kita lakukan. Sebagai contoh, jika anak keranjingan gadget, maka sudahkah kita mencontohkan pembatasan pemakaian gadget? Selain itu, orang tua perlu untuk selalu belajar, sehingga selain update info, juga update ilmu. Yuk, jadi orang tua yang dekat dengan anak, utamakan anak, pahami anak, dan penuhi hak-haknya. Baik itu hak bermain, hak bertemu tanah, hak difasilitasi bakatnya, hingga hak mendapatkan makanan hasil masakan ibunya.
Acara pagi diakhiri jam 12-an. Kami break mengantar anak pulang, lalu jam 13.00 saya kembali ke lokasi untuk ikut kelas menulis dewasa.
Ternyata, saya banyak bertemu teman-teman guru Penggerak Literasi kota Batu. Banyak wajah yang saya sudah tidak asing.
Dalam forum ini, kami diberi kesempatan untuk menyampaikan kesulitan-kesulitan atau pengalaman dalam berliterasi. Saya menyampaikan sulitnya mengajak tetangga membaca buku, padahal mereka ingin anaknya rajin membaca. Ada teman yang menyampaikan pengalaman healingnya melalui menulis. Ada yang menyampaikan bahwa menulis itu bikin nagih. Ada bapak-bapak yang bereksperimen bahasa dengan anaknya. Semua mendapatkan tanggapan dan saran yang disampaikan dengan cara yang menyenangkan.
Intinya, kita menulis itu kan seperti membuat prasasti kalau kita pernah ada dan berkarya di dunia ini. Jadi ya tulislah tentang pengalaman kita, pengetahuan kita, atau apa saja di sekitar kita. Perlu juga lho mendokumentasikan tumbuh kembang anak, sehingga kelak bisa menjadi referensi bagi orang lain, bahkan bagi anak itu sendiri.
Dilanjutkan sejenak oleh Romo Sindhunata. Kembali kami dimotivasi. Kesulitan itu pasti ada, bahkan bagi Romo yang sudah 40 tahun aktif menulis. Tetapi, kalau dikerjakan terus, kita akan terlatih. Romo menceritakan salah satu tekniknya menyelesaikan tulisan tentang fenomena ambyar. Langkah pertamanya adalah pengamatan. Ambyar itu apa? Mengapa lagu-lagu Didi Kempot baru dikenal sekarang oleh anak muda hingga muncul Sad Boys dan Sad Girls. Selanjutnya, Romo melakukan riset, baik dengan menggali sejarah, situasi pemuda saat ini, hingga situasi negara. Semua informasi itu diramu. Dan jadilah opini di Kompas satu halaman penuh. Tidak hanya membahas Didi Kempot, tapi berhubungan juga dengan sosiologi dan politik negara. Itu semua hanya dari satu kata.
Intinya, memulai itu saja sudah setengah dari pekerjaan. Tinggal konsisten dan lanjutkan.
Selanjutnya, kami ditantang untuk tetap di TKP, tapi harus menghasilkan satu tulisan non fiksi tentang makanan dan minuman. Saya dan teman-teman sih, ayo saja. Saya menulis di kelompok 2, didampingi mbak Setyaningsih. Saya fokus menulis tentang kopi dan pengunjung kafe. Tulisan saya? Tunggu selesai dinilai ya. Tapi saya akan membuat tulisan dengan tema sama, tetapi beda sudut pandang. Insya Allah akan saya kirim ke web sebelah (olahkata.com)
Mengapa sih di hari libur masih juga belajar?
Lohh, belajar itu kan harus dilangsungkan sepanjang hayat. Saya sudah punya karya, tetapi bertemu penulis-penulis dan motivator hebat begini membuat saya tetap membumi. Lagipula, di forum ini saya tidak hanya belajar menulis dan parenting. Saya juga belajar memandang konsumen. Jujur, pernah ada masa ketika saya memandang orang lain itu sebagai konsumen. Itu salah satu hasil belajar di forum lain. Mungkin gurunya belum dapat pencerahan. Tetapi seiring saya banyak pengalaman, dikuatkan pula oleh pak Bandung di forum tadi, kita itu harusnya memandang target pasar sebagai rekan untuk maju bersama. Ini saya alami juga waktu memasarkan buku-buku saya. Kalau saya memandang teman-teman sebagai calon pembeli, sikap saya pada mereka akan berbeda dengan ketika saya memandangnya sebagai rekan untuk maju bersama. Bandung memberikan masukan, jangan mengatakan "ganti ongkos cetak", tetapi "pengganti biaya agar bisa menerbitkan kelanjutannya". Dengan kalimat demikian, orang melihat kita ada itikad baik untuk terus maju.
Btw, Sindhunata dan Bandung sudah menunjukkan bahwa literasi itu bisa dilakukan kapan saja, bahkan dalam kondisi paling mepet keuangan sekalipun. Tinggal bagaimana kita pintar cari cara dan meluruskan niat. Insya Allah ada jalan.
Kurang lebih demikian yang saya bagikan dari proses belajar hari ini. Mohon koreksi dari teman yang tadi se-forum jika ada salah.
Btw, saat saya menuliskan ini, sedang berlangsung launching buku AIR KEJUJURAN karya Romo Sindhunata di pendopo Balai Kota Batu yang lama. Semoga acara lancar. Dalam minggu-minggu ini, saya akan membaca buku ini dan memahami.
Teruslah menulis, karena inilah sayap yang akan menerbangkanmu (Eryun-semangat dari seorang teman)
#parenting #belajar #belajarsepanjanghayat
Kelas Menulis Dewasa di Perpustakaan Kota Batu lantai 3 |
2 Komentar
Ini keren dan menarik.. ^_^
BalasHapusAlhamdulillah. Semoga bermanfaat
Hapus